Dalam perjalanan iman, seringkali kita dihadapkan pada teks-teks Alkitab yang menantang pemikiran umum kita. Salah satunya adalah Markus 3:20-30, yang sangat relevan untuk kita renungkan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam khotbah kali ini, kita akan membahas perikop ini dan menggali pesan-pesan yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan kita.
Ayat pertama dari Markus 3:20-21 menjelaskan bahwa Yesus kembali ke rumah dan kerumunan orang begitu banyak sehingga Dia dan murid-murid-Nya tidak bisa bahkan makan. Ini menunjukkan betapa besar ketertarikan orang pada Yesus—baik dari keinginan untuk mendengarkan ajaran-Nya maupun untuk mengalami mukjizat-Nya. Namun, di balik kerumunan itu, ada tantangan besar yang dihadapi oleh Yesus dari keluarganya sendiri. Mereka berusaha untuk membawa-Nya pulang karena mereka menganggap-Nya tidak waras.
Tindakan keluarga Yesus ini membuka diskusi mengenai bagaimana pandangan seseorang terhadap sosok yang dianggap aneh atau berbeda. Kita sering kali mudah menganggap orang lain tidak waras ketika mereka melakukan sesuatu yang melawan norma atau harapan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah kita siap untuk menentang pemikiran umum demi menjalani panggilan kita sebagai pengikut Kristus?
Merujuk pada Markus 3:22-30, ada juga tantangan dari para ahli Taurat yang datang dari Yerusalem. Mereka menuduh Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, raja setan. Di sini, Yesus menjawab dengan pendalaman yang brilian. Dia menunjukkan bahwa sebuah kerajaan yang terpecah belah tidak dapat bertahan. Sebuah rumah yang terpecah tidak akan dapat berdiri. Dengan menggunakan logika yang sederhana namun mendalam, Yesus mengungkap kebodohan tuduhan mereka. Mengapa iblis akan mengusir iblis? Ini mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang kehadiran Allah dan kerajaan-Nya di bumi.
Pesan ini mengajak kita untuk renungkan: Apakah kita kadang-kadang menjadi penuduh dan meragukan orang-orang yang berusaha untuk melakukan yang benar? Ketika seseorang melangkah keluar dari zona nyaman mereka atau melakukan sesuatu yang dianggap aneh bagi kita, akankah kita cepat untuk menghakimi mereka? Yesus mengajak kita untuk memikirkan kembali sikap ini dan membuka hati kita untuk memahami dan menerima keberagaman dalam jalan iman.
Selanjutnya, di Markus 3:28-30, Yesus mengingatkan tentang dosa yang tidak terampuni—yaitu penolakan terhadap Roh Kudus. Ketika orang menolak kuasa Allah yang dinyatakan melalui Yesus, mereka berada pada posisi berbahaya di mana mereka tidak dapat menerima pengampunan. Penting untuk memahami bahwa menolak Roh Kudus berarti menolak terang yang diberikan kepada kita, dan itu memiliki konsekuensi kekal.
Di sini ada sebuah pertanyaan reflektif: Apakah kita telah menutup hati kita terhadap suara Roh Kudus? Dalam kesibukan sehari-hari, kita mungkin terjebak dalam rutinitas, sehingga mengabaikan suara yang ingin Allah sampaikan kepada kita. Renungan ini mengingatkan kita untuk selalu bersiap sedia mendengarkan dan menerima apa yang Allah ingin lakukan dalam hidup kita.
Oswald Chambers, dalam bukunya “My Utmost for His Highest,” berkata, “Kita sering kali berusaha keras untuk melayani Allah dengan cara kita sendiri, tetapi ini bisa menghalangi kita dari mendengarkan dan mengikuti petunjuk-Nya.” Allah memanggil kita untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan menanggapi suara-Nya dengan iman. Dalam perikop ini, Yesus menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah adalah yang terpenting, bahkan ketika itu berarti menentang harapan dan pemahaman umum.
Saya ingin menutup renungan ini dengan mengingatkan kita semua bahwa dalam setiap langkah kita sebagai pengikut Kristus, kita harus tegas dalam iman. Kita mungkin harus berhadapan dengan kritik, penolakan, atau bahkan kesalahpahaman dari orang-orang di sekitar kita. Namun, kita harus tetap fokus pada panggilan kita dan keberanian untuk menjadi teladan terang Kristus di dunia yang gelap.
Apakah kita akan berani melangkah keluar dari kenyamanan kita dan menjadi saksi bagi kebenaran Allah? Apakah kita cukup peka untuk mendengarkan suara Roh Kudus dalam hidup kita? Mari kita berdoa agar Allah memberikan kita kebijaksanaan dan keberanian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan untuk melanjutkan perjalanan iman kita dengan penuh keyakinan.
Sebagai penutup, marilah kita merenungkan kembali kata-kata Yesus dan membiarkan kebenaran-Nya menjadi landasan bagi tindakan kita. Kiranya kita semua dipenuhi dengan keberanian untuk hidup sesuai dengan panggilan yang diberikan kepada kita, terlepas dari tantangan atau penilaian yang kita hadapi.