Dalam perjalanan spiritual kita, setiap firman Tuhan memiliki makna yang mendalam dan relevansi yang kuat, terutama ketika kita membahas Markus 2:23-28. Ini adalah bagian dari Injil yang sering kali mengundang kita untuk merenungkan tentang arti istirahat dan Sabat dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam khotbah ini, kita akan menantang pemikiran umum, menggugah jemaat untuk merenungkan ajaran Yesus, serta menghadirkan pesan yang dapat diterapkan dalam kehidupan kita.
Marilah kita lihat konteks Mark 2:23-28, di mana Yesus dan murid-murid-Nya melewati ladang gandum pada hari Sabat. Dalam perjalanan itu, para murid mulai memetik bulir-bulir gandum untuk dimakan. Perbuatan mereka ini mengundang kritik dari para Farisi yang mempertanyakan tindakan tersebut. Mereka berpendapat bahwa memetik gandum pada hari Sabat adalah tindakan melanggar hukum Tuhan. Menanggapi tuduhan ini, Yesus dengan bijaksana menunjukkan bahwa sekalipun Sabat adalah hari istirahat yang ditetapkan oleh Allah, ia tidak boleh menghalangi kebutuhan manusia.
Ayat 27 adalah inti dari pengajaran Yesus dalam perikop ini, “Sabtalah yang dibuat untuk manusia, dan bukan manusia untuk Sabat.” Ungkapan ini menantang pandangan umum yang sering kali memisahkan hukum dan cinta. Yesus tidak sedang mendorong kita untuk mengabaikan Sabat, melainkan mengajak kita untuk memahami bahwa tujuan dari hukum itu adalah untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Ini adalah panggilan untuk melihat jauh di balik rutinitas keagamaan yang sering kali kita jalani.
Salah satu pesan penting dari khotbah ini adalah tentang kebutuhan kita sebagai manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali terjebak dalam rutinitas dan kewajiban yang mengikat kita, sampai-sampai kita lupa akan esensi dari peraturan yang telah ditetapkan Allah. Di dalam kebisingan dan kesibukan dunia ini, kita cenderung melupakan tujuan utama dari Sabat—yaitu untuk berhenti sejenak dan merenungkan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Ini adalah waktu untuk beristirahat, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara spiritual.
Tantangan yang dihadapi oleh Yesus dan murid-murid-Nya menggambarkan sikap kaku yang sering muncul dalam pikiran kita ketika membahas hukum dan peraturan. Apa yang Yesus lakukan dengan membedah peraturan ini adalah membawa kita untuk memikirkan kembali apa yang sebenarnya lebih penting—pelaksanaan ritual atau makna di balik ritual tersebut. Dalam konteks gereja modern, kita juga menghadapi tantangan serupa. Adakah kita lebih fokus pada menjalankan aktivitas gereja, ataukah kita benar-benar memahami dan hidup di dalam inti dari ajaran Kristus?
Dengan mengajak jemaat untuk merenungkan momen-momen penting dalam hidup kita, kita dapat mengidentifikasi apakah kita terlalu terikat pada aturan sehingga lupa akan kehidupan yang diberdayakan oleh kasih dan kemanusiaan. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: Apakah kita mematuhi hukum Tuhan dengan cara yang mengasihi dan memberdayakan orang lain? Ataukah kita justru memisahkan diri dari misi utama Kristus untuk mencintai sesama?
Selanjutnya, kita juga perlu memahami apa arti istirahat sesungguhnya. Dalam masyarakat yang selalu bergerak cepat, istirahat sering kali diartikan sebagai kebebasan dari beban pekerjaan. Namun, dalam ajaran Yesus, istirahat juga berarti mengisi kembali jiwa kita dengan kehadiran Tuhan. Menghabiskan waktu merenungkan Firman Tuhan, berdoa, dan bersekutu dengan sesama adalah bagian dari pengalaman Sabat yang seharusnya. Kembali ke inti dari Markus 2:23-28, kita diingatkan bahwa Sabat harus menjadi sumber kehidupan, tempat di mana kita bisa mengalami pemulihan dan penguatan dari Tuhan.
Saya ingin mengajak Anda semua untuk merenungkan bagaimana kita dapat menghidupkan esensi Sabat dalam kehidupan kita. Dalam konteks pekerjaan yang padat dan tuntutan yang beragam, apakah kita sudah menyisihkan waktu untuk bersantai dan merenungkan kasih Tuhan? Apa yang bisa kita lakukan untuk memprioritaskan hubungan kita dengan Tuhan di atas segala kesibukan ini? Renungkanlah kehidupan sehari-hari kita, apakah kita sudah memberikan ruang bagi Tuhan dalam kesibukan tersebut?
Terakhir, sekaligus sebagai sebuah penekanan, kita harus ingat bahwa pesan yang Yesus sampaikan di dalam Markus 2 tidak hanya relevan di zaman-Nya saja, melainkan juga di era kita sekarang. Dalam setiap keputusan yang kita ambil, baik di gereja maupun di luar gereja, hendaklah kita selalu bertanya apakah tindakan kita mencerminkan kasih dan pengertian Kristus. Apakah kita hanya berfokus pada apa yang “seharusnya” kita lakukan atau kita benar-benar memahami kebutuhan dan konteks sekitar kita?
Dengan demikian, marilah kita menutup renungan kita dengan komitmen untuk meninggikan kasih dan kemanusiaan di atas segalanya. Mari kita jalani hidup kita bukan hanya dengan mematuhi hukum Tuhan, tetapi dengan memahami makna dari hukum tersebut. Semoga Markus 2:23-28 menjadi pengingat yang penuh arti bahwa kita adalah ciptaan yang diundang untuk hidup dalam kedamaian, istirahat, dan kasih dari Sang Pencipta. Amin.