Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita terjebak dalam pemikiran bahwa anugerah Tuhan adalah hak semua orang tanpa terkecuali. Namun, dalam Markus 7:24-30, kita mendapatkan sebuah perspektif baru yang menantang pemikiran umum dan mengajak kita untuk merenungkan sifat anugerah dan iman. Dalam perikop ini, Yesus berinteraksi dengan seorang perempuan yunani yang berasal dari daerah Syro-fenisia, dan dialog mereka membuka wawasan tentang batasan-batasan yang sering kita buat dalam memahami cinta kasih Tuhan. Mari kita telaah lebih dalam tentang khotbah dan renungan dari Markus 7:24-30.
Cerita ini dimulai ketika Yesus pergi ke daerah Tirus dan Sidon, sebuah wilayah di luar Israel. Di sana, Ia bertemu dengan seorang perempuan yang sangat peduli dengan kondisi putrinya yang kerasukan roh jahat. Dalam konteks zaman itu, perempuan ini bukan hanya berasal dari golongan non-Yahudi, tetapi juga terpinggirkan oleh masyarakat sekitar. Namun, keberaniannya untuk mendekati Yesus menunjukkan rasa percaya dan harapan yang mendalam. Ia berseru kepada-Nya, “Kasihanilah aku, ya Tuhan! Anakku sangat menderita.” (Matius 15:22)
Yesus awalnya tidak menjawabnya. Dalam anggapan kita, sikap diam-Nya mungkin terlihat seakan-akan Ia mengabaikan permohonan sang perempuan. Namun, sebaliknya, tindakan tersebut bisa kita lihat sebagai bagian dari pengujian iman. Dalam banyak konteks, terutama dalam budaya Timur Tengah pada masa itu, pria dari bangsa Yahudi tidak berinteraksi dengan perempuan non-Yahudi, terlebih dengan seorang yang memiliki latar belakang yang dianggap rendah. Ini menjadi sebuah tantangan dalam menyampaikan pesan kasih Allah yang sejati.
Ketika perempuan itu terus mengajukan permohonan, Yesus berkata, “Tidak patut mengambil roti yang menjadi hak anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Markus 7:27) Pernyataan ini terdengar keras dan tidak simpatik. Namun, perempuan itu memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan kasih dan anugerah. Ia menjawab, “Benar, Tuhan, tetapi anjing itu di bawah meja mendapat remah-remah dari anak-anak.” (Markus 7:28) Penuh iman, perempuan ini tidak terbawa dengan kata-kata kasar yang mungkin diungkapkan Yesus, melainkan ia mengarahkan perhatian pada kebaikan Tuhan yang meliputi semua orang, terlepas dari status atau latar belakang mereka.
Respon perempuan itu menunjukkan sikap kerendahan hati dan pemahaman yang dalam mengenai siapa dirinya di hadapan Tuhan. Ia mengenali posisi sosialnya, namun tidak membiarkan itu menghalangi keinginannya untuk mendapatkan bantuan. Ini adalah pelajaran penting bagi kita: sejauh mana kita mampu merendahkan hati dan berusaha mendekat kepada Tuhan, bahkan ketika situasi tampak tidak mendukung? Sangat sering kita membiarkan kondisi dan status kita membentuk cara kita berdoa dan berharap.
Setelah mendengar jawaban iman dari perempuan tersebut, Yesus berkata, “Karena kata-katamu itu, pulanglah! Ibumu akan disembuhkan.” (Markus 7:29) Itu adalah pengakuan sekaligus pengharapan yang terwujud. Yesus bukan hanya mengubah nasib perempuan itu, tetapi juga menegaskan bahwa iman yang tulus, tidak terhalang oleh batasan sosial, akan selalu diterima oleh-Nya.
Selanjutnya, kisah ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita memperlakukan orang lain di lingkungan kita. Apakah kita cenderung mengucilkan atau menjadikan orang lain sebagai ‘anjing’ dalam konteks sosial? Apakah kita memungkinkan anugerah Tuhan untuk mengalir dalam hidup orang-orang di sekeliling kita meskipun mereka tidak memiliki latar belakang yang sama dengan kita? Kecenderungan kita untuk mengelompokkan orang berdasarkan status, pendidikan, atau kekayaan sering kali menghalangi kita dari menerima keindahan anugerah tuhan yang ada dalam setiap diri manusia.
Dari perikop ini, kita mengambil pelajaran untuk memberi ruang bagi setiap orang dalam komunitas iman kita. Pelayanan tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam lingkaran tertentu, tetapi juga bagi mereka yang dianggap tidak layak oleh masyarakat. Pesan Yesus adalah bahwa tidak ada yang terpinggirkan dalam kerangka kasih karunia-Nya. Melalui tindakan-Nya, kita diajak untuk membuka hati dan menerima setiap orang, terlepas dari latar belakang mereka.
Dalam dunia yang semakin terbagi dan dipenuhi dengan prasangka, penting bagi kita untuk mengambil sikap menantang pemikiran umum. Kita harus menyadari bahwa setiap tindakan kasih, setiap bantuan kepada yang membutuhkan, adalah representasi dari iman kita. Ketika kita melayani tanpa batas, kita mencerminkan kasih Jesus yang memperluas anugerah-Nya kepada semua orang, tanpa terkecuali. Dalam hal ini, apa yang bisa kita lakukan untuk menjangkau mereka yang berjuang, terpinggirkan, atau bahkan merasa tidak layak?
Sebagai pernyataan penutup, Markus 7:24-30 memberi kita pelajaran luar biasa tentang iman, kasih, dan penerimaan. Mari kita berusaha menjadi gereja yang terbuka, menyambut setiap jiwa dengan tangan terbuka, menciptakan ruang bagi anugerah Tuhan untuk mengalir. Jika kita dapat mengubah perspektif kita mengenai siapa yang layak menerima kasih dan berkat Tuhan, kita akan melihat lebih banyak ‘remahan-remahan’ anugerah yang menjangkau kehidupan orang-orang di sekitar kita. Semoga kita semua mampu merenungkan dan menerapkan pesan ini dalam hidup kita sehari-hari.